Kenapa Psikologi Menggunakan Hewan dalam Menjelaskan Teori-Teorinya?

Jauh sebelum psikologi berdiri menjadi ilmu pengetahuan yang tersendiri
pada tahun 1879 yang ditandai dengan berdirinya laboratorium psikologi di Leipzig,
Jerman. Psikologi sudah dipelajari dan menjadi konsen oleh ilmu filfasat dan ilmu
faal. Pada tahun 500-600 SM, ilmu filsafat sudah membahas mengenai gejala kejiwaan,
yaitu oleh para filsuf Yunani Kuno (Sarwono, 2014). Sebut saja filsuf Yunani Kuno
bernama Aristoteles, beliau menulis buku berjudul “The Anima.” Dalam buku itu
beliau membagi makhluk hidup ke dalam tiga pengelompokan, yaitu Anima
Vegetativa (tumbuh-tumbuhan), Anima Sensitiva (hewan), dan Anima Intelektiva
(manusia) (Sarwono, 2014).

Hewan memiliki perbedaan dengan tumbuhan karena hewan mempunyai
indera (senstiva) dan sedangkan pada tumbuhan tidak memilikinya. Walaupun
manusia mempunyai kesamaan dengan hewan, yaitu berindera. Tetapi, terdapat
perbedaan, yaitu manusia mempunyai daya mengingat (mneme) dan oleh sebab itu
pertanda bahwa manusia memiliki kecerdasan (intelek) (Sarwono, 2014).

Jika para filsuf Yunani Kuno sudah membahas mengenai gejala kejiwaan dan
salah satu filsuf di atas membagi kelompok makhluk hidup di antaranya adalah
manusia dan hewan. Maka, keterkaitan manusia dan hewan sudah nampak sangat
dekat. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Clifford T. Morgan, mengenai
psikologi. Menurut beliau psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia dan hewan (Sarwono, 2014).

Lalu, apakah kalian pernah berpikir demikian, kenapa psikologi menggunakan
hewan dalam menjelaskan teori-teorinya? Ada banyak teori-teori psikologi yang
dijelaskan menggunakan hewan atau dengan melakukan eksperimen kepada hewan.
Berikut beberapa di antaranya:

1. Psikologi Gestalt. Eksperimen ini dilakukan oleh Wolfgang Kohler untuk
menjelaskan psikologi gestalt (Sarwono, 2014). Psikologi gestalt adalah aliran
psikologi yang melihat sesuatu sebagai suatu yang menyeluruh atau totalitas
(Abdurrahman, 2015). Wolfgang Kohler melakukan eksperimennya kepada
kera yang diberi nama Sultan. Ketika Sultan sedang bermain dengan dua
tongkat dan Sultan bisa menyambung kedua tongkat itu menjadi satu. Lalu,
Sultan mengambil pisang di luar kandangnya menggunakan tongkat itu.
Padahal, sebelumnya Sultan kesulitan mengambil pisang tersebut karena
tongkat itu masih terpisah menjadi dua.
Fenomena ini disebut sebagai “Aha Erlebnis,” yang memperlihatkan
bahwa persepsi kera bernama Sultan saja bersifat gestalt (keseluruhan).

Fenomena ini disebut sebagai “Aha Erlebnis,” yang memperlihatkan bahwa
persepsi kera bernama Sultan saja bersifat gestalt (keseluruhan). Penerapannya
dalam kehidupan manusia adalah saat kita melihat suatu objek misalnya mobil
sebagai sebagai sebuah mobil secara keseluruhan, bukan sebagai susunan
lampu, ban, kaca, alat kemudi, pintu, dan lain-lain (Sarwono, 2014).

2. Pengkondisian Klasik (Classical Conditioning). Eksperimen ini dilakukan
oleh Ivan Pavlov kepada seekor anjing yang dilatih mengeluarkan air liur
bersamaan dengan bunyi bel (Sarwono, 2014). Dalam classical conditioning
stimulus yang awalnya netral diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna
dan menimbulkan kapasitas respon yang sama (Raharjo, 2012).

Pada mulanya anjing tersebut diberi makan dan mengeluarkan air liur.
Lalu, ketika bunyikan bel saja tanpa ada makanan, anjing tersebut tidak
mengeluarkan air liur. Kemudian, ketika makanan dan bel beri secara
bersamaan, maka anjing itu mengeluarkan air liur. Setelah itu, hanya bel saja
yang dibunyikan tanpa ada makanan, ternyata anjing itu mengeluarkan air
liur.

Penerapannya dalam kehidupan manusia adalah saat manusia menjalin
ikatan cinta atau pacaran. Maka, manusia akan lebih memperhatikan
smartphone-nya, pesan WhatsApp sering diasosiasikan adalah pesan dari sang
pacar. Pesan WhatsApp yang masuk awalnya adalah suatu yang netral (bukan
pesan dari sang pacar), namun perlahan pesan itu muncul bersamaan dengan
pesan dari sang pacar. Pesan WhatsApp yang awalnya netral malah menjadi
pertanda bahwa sang pacar sedang mengirimkan pesan. Sehingga manusia
beprikir bahwa ketika ada pesan masuk, itu adalah pesan dari pacarnya
(Sarwono, 2014).

Hal tersebut berkaitan dengan emosi manusia, pesan WhatsApp yang
kemudian bukan hanya menandakan ada pesan dari sang pacar, namun juga
menimbulkan emosi (perasaan senang) (Sarwono, 2014).

3. Pengkondisian Operan (Operant Conditioning). Eksperimen ini dilakukan
oleh Burrhus Frederic Skinner kepada seekor tikus beserta kandangnya. Dasar
dari operant conditioning merupakan penguatan positif, negatif, kepunahan,
hukuman positif, dan negatif (Fauziah dkk., 2020). Skinner memulai
eksperimennya dengan memasukkan seekor tikus ke dalam kandang. Saat
tikus itu lapar, maka tikus itu bisa mengambil makanannya dengan mandiri
melalui jendela kecil. Tetapi, tidak selamanya kotak makan itu diisi oleh
makanan. Saat tikus itu mengambil makanan dari kotak makanan kosong, dia
menerima sengatan listrik di kakinya. Kemudian, saat kotak makanan berisi
makanan, maka bel akan bunyi (Sarwono, 2014)

Maka, yang dilakukan tikus itu adalah tidak mau mengambil makanan
walapun dia sedang lapar dan hanya menunggu bel bunyi untuk makan
walaupun dia sedang kenyang, supaya tidak disengat oleh listrik. Artinya tikus
itu bisa membedakan positif dan negatif atau bisa membedakan antar stimulus.
Penerapannya pada manusia adalah saat anak kecil belajar membedakan ibu
yang ramah dan tante yang pemarah (Sarwono, 2014).

Setelah melihat beberapa contoh dari eksperimen psikologi yang
menggunakan hewan untuk menjelaskan teorinya. Selanjutnya apakah alasan
psikologi menggunakan hewan dalam menjelaskan teorinya? Padahal psikologi lebih
fokus membahas proses mental dan tingkah laku manusia.

Pertama, pertanyaan itu bisa dijawab karena dengan eksperimen kepada hewan
dapat menunjukkan bahwa manusia itu juga memiliki struktur kepribadian yang
tidak jauh berbeda. Dari hasil temuan itu dapat diproses untuk melihat konsep
manusia, walaupun memiliki tingkah laku yang berbeda (Rois, 2019).

Kedua, semakin ke sini objek yang dibahas dalam psikologi semakin mengarah
kepada manusia karena manusialah yang membutuhkan ilmu ini. Hewan menjadi
bahan penelitian dalam psikologi hanya untuk perbandingan saja karena untuk
mencari fenomena psikologis yang sederhana dapat ditemukan di hewan dan pada
manusia sangat sulit diteliti karena struktur psikologi yang ada pada manusia sangatlah rumit (Sarwono, 2014).

Hal inilah yang kemudian menjadi penjelasan mengapa teori-teori psikologi, cenderung menggunakan hewan dalam menjelaskan
teori-teorinya.

Penulis : Mahasiswa Prodi Psikologi Islam 2020, Hendri

Daftar Pustaka

Abdurrahman, A. (2015). Teori Belajar Aliran Psikologi Gestalt Serta Implikasinya
Dalam Proses Belajar dan Pembelajaran. Jurnal Al-Taujih : Bingkai Bimbingan dan
Konseling Islami, 1(2), Art. 2. https://doi.org/10.15548/atj.v1i2.929

Fauziah, Prayitno, & Karneli, Y. (2020). Meningkatkan Kesiapan Belajar Siswa Melalui
Pendekatan Behavioral. AL-IRSYAD: JURNAL PENDIDIKAN DAN
KONSELING, 10(1), Art. 1. https://doi.org/10.30829/al-irsyad.v10i1.7657

Raharjo, T. (2012). Peningkatan Kemampuan Daya Ingat Anak Slow Learner Melalui
Terapi Kognitif Pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal Sosial Budaya, 5(1), Art. 1.

Rois, N. (2019). Konsep Motivasi, Perilaku, dan Pengalaman Puncak Spiritual
Manusia dalam Psikologi Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas
Wahid Hasyim, 7(2), 184–198.

Sarwono, S. W. (2014). Pengantar Psikologi Umum. PT. Raja Grafindo Persada.