Rezeki Tidak Bisa Ditiru

Sekitar sepuluh tahun silam, saat pulang kampung saya selalu mencegat nenek-nenek penjual jajanan pasar yang pulang dari pasar dan kembali ke rumahnya di sebelah desa saya. Aneka jajanan pasar itu menjadi obat rindu kala saya dulu waktu kecil ikut Ibu ke pasar.

Pada awalnya saya lebih tertarik dengan aneka jajanan yang waktu itu pun sudah susah diperoleh di Jakarta. Kalaupun ada, entah mengapa, rasanya kok beda. Sama seperti saya makan gudeg di Jakarta, meski resepnya sama persis dengan gudeg di Jogja, tetap saja kenikmatan gedeg Jogja tak bisa dikalahkan.

Kemudian saya tertarik ke nenek penjual yang ternyata sudah bergelar Hajjah. Memang, ia naik haji ketika umur sudah senja. Namun, dari obrolan-obrolan yang gayeng itu saya tahu bahwa keuntungan berjualan palawija dari ladangnya ke pasar dan kemudian jajan pasar pas pulang hanya pas-pasan untuk biaya hidup saja.

Jadi, dari mana nenek itu memperoleh uang yang cukup untuk pergi haji? Ternyata ia rajin menabung dan ketiga jumlahnya sudah cukup, dibelikan anakan sapi. Dari satu anakan lalu bertambah menjadi dua, yang kemudian beranak pinak.

Banyak pelajaran hidup yang saya peroleh dari nenek itu. Termasuk satu pesan yang selalu saya ingat berkaitan dengan rezeki. Kira-kira begini:” rezeki iku ora isu ditiru. Senajan podo lakumu, senajan pada dodolanmu, senajan podo kerjomu, hasil sing ditompo bakal bedo, iso bedo ning akehe bondho, iso ugo bedo ono ning roso lan ayeme ati. (Rezeki itu tidak bisa ditiru, meski sama tingkah lakunya, sama jualannya, sama pekerjaannya, hasil yang diterima bakal berbeda. Bisa berbeda dalam hal harta, bisa juga berbeda dalam hal perasaan di hati

Sumber: Intisari No 668. Bulan Mei 2018. Hal. 178)