Menghapus Toxic Academic Cultures di Kampus
Perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang berkembangnya intelektual, kreativitas, dan moral mahasiswa. Namun, realitasnya, budaya akademik toksik kerap muncul sebagai tantangan besar di lingkungan akademik. Budaya ini tidak hanya merugikan individu tetapi juga merusak fondasi institusi pendidikan itu sendiri. Sebagai salah satu pilar pembentuk masa depan bangsa, perguruan tinggi wajib menanamkan budaya akademik yang sehat dan inklusif.
Budaya akademik toksik sering kali bermula dari penyalahgunaan kekuasaan. Dosen atau pimpinan kampus yang merasa memiliki otoritas absolut sering memanfaatkan posisi mereka untuk mengontrol mahasiswa maupun kolega. Fenomena ini terlihat dalam bentuk tekanan berlebihan, sikap otoriter, hingga perilaku merendahkan yang merusak hubungan baik. Sebagai contoh, mahasiswa yang datang ke kampus dengan harapan mendapatkan perlindungan dari tekanan hidup, justru harus menghadapi kekerasan verbal atau emosional. Situasi ini menciptakan lingkungan yang jauh dari nilai ideal pendidikan.
Selain itu, kompetisi tidak sehat sering menjadi akar masalah lain dalam lingkungan akademik. Budaya akademik yang terlalu menekankan prestasi individual sering kali mengorbankan kolaborasi. Dalam suasana seperti ini, individu didorong untuk saling menjatuhkan demi mencapai target tertentu. Akibatnya, tidak hanya mahasiswa tetapi juga staf merasa tertekan, kehilangan semangat, dan cenderung mengalami kelelahan mental.
Institusi pendidikan harus memahami bahwa kesehatan mental mahasiswa adalah fondasi keberhasilan akademik mereka. Sebuah studi oleh Lipson et al. (2019) menunjukkan bahwa mahasiswa perguruan tinggi menghadapi berbagai tekanan psikologis, mulai dari masalah akademik hingga masalah pribadi seperti ekonomi dan keluarga. Dalam kondisi seperti ini, dosen tidak seharusnya menambah beban dengan sikap tidak profesional atau metode pengajaran yang intimidatif. Sebaliknya, mereka perlu menjalin relasi yang suportif dan saling menghormati.
Solusi terhadap budaya akademik toksik di perguruan tinggi membutuhkan pendekatan sistemik. Pertama, institusi harus membuat regulasi yang jelas untuk menangani penyalahgunaan kekuasaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Schein (2010), kepemimpinan yang baik mampu menciptakan budaya akademik yang kondusif dan inklusif. Kedua, perguruan tinggi harus menyediakan layanan konseling yang mudah diakses bagi mahasiswa maupun staf. Langkah ini tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga bagian dari investasi jangka panjang dalam membangun kesejahteraan akademik.
Selain itu, kampus harus mulai menerapkan metode pembelajaran yang menyenangkan. Dalam lingkungan akademik yang sehat, mahasiswa tidak hanya dianggap sebagai objek pembelajaran tetapi juga mitra yang setara. Pemimpin perguruan tinggi perlu mengadopsi visi ini untuk menciptakan ekosistem akademik yang lebih bersahabat dan produktif.
Budaya akademik toksik adalah permasalahan serius yang tidak boleh diabaikan. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pembentukan karakter dan kompetensi generasi penerus bangsa, perguruan tinggi wajib menciptakan ruang yang aman, inklusif, dan mendukung pengembangan potensi setiap individu. Ketika semua pihak bekerja sama, lingkungan akademik yang ideal bukan lagi sekadar mimpi, tetapi menjadi kenyataan.
Referensi:
- Chamorro-Premuzic, T. (2019). Why toxic cultures persist in academia. Harvard Business Review.
- Lewis, K. (2021). Toxic Academic Cultures: Causes and Consequences. The Chronicle of Higher Education.
- Lipson, S. K., et al. (2019). Mental health conditions among college students: Prevalence and gaps in service utilization. Journal of Adolescent Health.
- Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass.