Berdoa

Di tengah kepengapan angkutan umum yang membawaku dari sebuah stasiun kereta api ke tempat kerja, kuping saya mendengar obrolan ibu-ibu yang habis menjemput anak-anaknya dari sekolah. Mereka sedang mengobrol soal mengajarkan doa kepada anak-anak mereka yang baru masuk sekolah.

Saya  tak sampai selesai menguping pembicaraan itu. Namun garis besarnya para ibu-ibu itu mengajarkan anaknya jika berdoa untuk pencapaian yang positif. Keluar. Bahawa kiwarinya, eksis(tensi). Misalnya saja berdoa supaya menang dalam lomba atau berdoa supaya dapat juara kelas.

Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah cerita tentang seorang anak kecil yang menang lomba lari di kejuaraan antarkelas sekolahnya.

Berbeda dengan peserta lainnya, anak kecil ii berdoa sebelum lomba dimulai. Setelah tanda start dibunyikan, anak ini berlari dengan kekuatan penuhnya dan akhirnya menjadi juara pertama.

Seorang guru yang mengamati perilaku si anak kecil ini kemudian mendekati si anak dan bertanya, “Apakah tadi sewaktu berdoa kamu minta supaya menang lomba ini?”.

“Tidak Bu, Saya egosi jika berdoa minta juara. Bukankah semua peserta yangikut juga berhak untuk menjadi juara?”

“Lalu, apa yang kamu minta dalam doa tadi?”

“Saya berdoa agar tidak menangis jika kalah dalam lomba ini,” jawab anak itu.

Kisah ini sering saya ceritakan ke anak-anak. Agar mempersiapakan diri menerima kekalahan. Namun bukan berarti kita menjadi pesimis. :Doa tidak mengubah Tuhan, namun mengubah dia yang berdoa,” kata Soren Kierkegaard, seorang filsuf dari Denmark

(Sumber: Intisari No 671. Bulan Agustus 2018. Hal.258)