Tujuan Hidup

Terkadang saya menggunakan angkutan umum untuk berangkat dan pulang kerja. Banyak hal bisa kita pelajari dari aktivitas naik angkutan umum ini. Seperti di malam hari itu saat saya pulang menggunakan Mikrolet yang berkahir di Tanah Abang. (Biasanya saya turun di Palmerah dan naik kereta dari Stasiun Palmerah menuju Stasiun Tanah Abang).

Dari daerah Rawabelong naik seorang ibu dengan dua anaknya, “Numpang ya Bang. Sampai Slipi,” Kata Ibu itu. Saya membayangkan bagaimana raut muka si Abang Sopir. Waktu itu penumpang hanya ada dua, saya yang duduk di belakang sopir dan seorang bapak-bapak di depan. Sebelum dicegat Ibu tadi, Abang Sopir berkejar-kejaran dengan angkutan lain di jalan yang mulai sepi itu.

“Ya Bu, silahkan naik,” Kata Abang Sopir tanpa ada nada kecewa. Wah, ternyata saya salah membayangkan. Ibu dan dua anak yang masih usia SD itu kemudian duduk di belakang, di seberang tempat dudukku. Dia tersenyum sewaktu naik, begitu juga saat turun.

Di daerah Pejompongan bapak-bapak yang duduk di depan turun dan ngasih uang Rp 20.000. “Kembaliannya untuk nambah ongkos Ibu dan dua anaknya tadi.” Katanya (Ongkos terjauh angkot ini sekitar Rp.6.000)

Saya pun turun di Stasiun Tanahabang, dan ngasih Rp. 10.000 tanpa minta kembalian. “Sisanya buat nambah ongkos Ibu tadi,” kataku menirukan omongan Bapak-Bapak tadi. Sempat ngobrol basa-basi dengan Abang Sopir yang selintas mengingatkanku akan ucapan Ralp Waldo Emerson, esais Amerika Serikat dan pemimpin gerakan transendentalisme pada pertengahan abad ke 19 “Tujuan hidup bukan untuk bahagia, tapi berguna bagi orang lain”

(Sumber: Intisari No 674. Bulan November 2018. Hal. 162)